1. HOME
  2. »
  3. BERITA

Rencana Kenaikan Pajak Orang Kaya 35 Persen Diharapkan Ciptakan Keadilan

Editor: Haris Kurniawan  26 Mei 2021 20:53
news/2021/05/26/169270/rencana-kenaikan-pajak-orang-kaya-35-persen-diharapkan-ciptakan-keadilan-210526i.jpg Anggota Komisi XI Puteri Anetta Komarudin. Dok: DPR.go.id (Mentari/Man)

DPR RI - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (OP) hingga 35 persen. Struktur tarif PPh akan menjadi 5 lapisan. Wajib pajak individu yang memiliki pendapatan di atas Rp 5 miliar akan dikenakan pajak 35 persen.

Mengomentari hal ini, Anggota Komisi XI DPR Puteri Anetta Komarudin mengungkapkan, beberapa negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) seperti Australia dan Belgia telah menerapkan 5 lapisan pendapatan kena pajak orang pribadi. Begitupun, Jepang dan China yang menerapkan 7 lapisan. Bahkan, Malaysia dan Singapura menerapkan 10 lapisan pendapatan kena pajak orang pribadi.

"Misal saja Jepang yang dikenal sebagai salah satu negara dengan pengenaan tarif pajak yang tinggi diikuti dengan penerapan bracket tersebut, kita lihat rasio gini Jepang kini berada di kisaran 0.290. Negara-negara Nordic seperti Denmark, Swedia yang juga menerapkan skema ini berada di jajaran negara dengan rasio gini terendah," kata Puteri kepada merdeka.com.

Dengan rencana itu, Puteri berharap penambahan lapisan penghasilan kena pajak ini menciptakan rasa keadilan sekaligus mendorong redistribusi pendapatan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

"Data Global Wealth Report 2019-Credit Suisse menyebutkan 82 persen penduduk dewasa di Indonesia memiliki kekayaan kurang dari 10.000 USD, sedangkan penduduk dewasa dengan kekayaan antara 100 ribu hingga 1 juta USD hanya kisaran 1,1 persen. Bahkan, Majalah Forbes menyebut sebagian besar konglomerat di Indonesia mengalami peningkatan kekayaan selama pandemi COVID-19. Artinya, kelompok ini relatif tidak mengalami dampak yang dalam akibat pandemi," jelasnya.

Padahal, lanjut dia, adanya pandemi ini justru berimbas bagi kesejahteraan MBR yang ditunjukkan dengan peningkatan kemiskinan, penambahan jumlah pengangguran hingga rasio gini. Selain itu, politikus Partai Golkar ini juga menyampaikan bahwa dibalik potensi tersebut kontribusi terhadap penerimaan negara masih belum sejalan.

"Pasalnya, penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi hingga akhir April 2021 mengalami kontraksi 3,39%. Pun pada April tahun sebelumnya, penerimaan PPh OP hanya sebesar Rp7,28 triliun atau jauh dari potensi yang seharusnya," katanya.

Persoalan lain ialah, membebani pajak lebih tinggi kepada mereka kelompok kaya bukan perkara mudah. Mereka bisa memaksimalkan peran konsultan pajak untuk menyiasati ketentuan tersebut.

"Tentu saja memajaki kelompok High Wealth Individual ini bukanlah persoalan yang mudah, mengingat mereka memiliki akses yang lebih baik kepada konsultan pajak sehingga mereka bisa menyiasati ketentuan tersebut. Terlebih, penyesuaian tarif PPh OP tertinggi menjadi 35% ini juga akan membuat selisih yang cukup lebar dengan tarif PPh Badan (sekarang di level 22%). Dimana hal ini berpotensi mendorong untuk memupuk penghasilannya di tingkat perusahaan seperti dividen," terangnya.

Menghindari hal tersebut, pemerintah perlu memastikan kesiapan sistem administrasi pajak terhadap perubahan ini. Selain itu, pemerintah juga perlu menjamin ketersediaan data dan informasi yang memadai terkait kalangan tersebut untuk mengidentifikasi WP dan menjamin kepatuhannya.

"Salah satunya dapat diwujudkan dengan memanfaatkan Automatic Exchange of Information (AEoI) untuk memperoleh informasi yang akurat, komprehensif dan valid terkait data keuangan high wealth individual (HWI)."

"Kemudian, pemerintah juga dapat memanfaatkan data yang diperoleh dari adanya program tax amnesty pada tahun 2016. Melalui basis data tersebut, Wajib Pajak yang masuk kategori HWI dapat dikelompokan ke dalam pengawasan utama dan dapat diberikan secara optimal sehingga menjadi WP yang patuh (golden taxpayer)," tuntasnya.

KOMENTAR ANDA