Permen Antikekerasan Seksual Dinilai Bisa Jadi Alternatif RUU PKS
DPR RI - Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi. Permen tersebut dinilai oleh sejumlah pihak melegalkan zina dan menjadi celah seks bebas karena terdapat frasa 'tanpa persetujuan korban' pada pasal 5 ayat (2) Huruf L dan M. Meski begitu, banyak pihak yang menilai bahwa aturan ini sangat dibutuhkan mengingat tingginya angka kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Berkaitan dengan hal itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI asal Fraksi Partai NasDem Ahmad Sahroni menyampaikan dukungannya. Menurut Sahroni hingga saat ini permasalahan kekerasan seksual masih marak terjadi namun belum memiliki payung hukum yang jelas.
"Saya menilai bahwa ini sangat baik, karena merupakan jawaban dari keresahan mahasiswa hingga dosen perihal masih maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi dan ketiadaan hukum yang jelas terkait penanganan kekerasan seksual tersebut. Saya mendukung aturan ini karena memang dibutuhkan para korban untuk membela diri. Apalagi kita ketahui, hasil survei oleh Mendikbud Ristek di tahun 2019, kekerasan seksual di kampus ini terbanyak ketiga setelah di jalanan dan transportasi umum. Jadi memang urgensinya sangat mendesak. Sebelum RUU PKS disahkan, ya Permen ini diharapkan bisa memberi perlindungan hukum yang dibutuhkan," ujar Sahroni dalam keterangannya hari ini (11/11).
Kemudian, Sahroni juga menampik pandangan yang menyebut bahwa Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini memiliki pasal yang terkesan melegalkan seks bebas. Menurutnya, hal itu tidak tepat, mengingat dalam aturan lanjutannya ada penjelasan tentang 'tanpa persetujuan korban' dengan lebih mendetail.
"Kalau yang dipermasalahkan terdapat frasa 'tanpa persetujuan korban' menurut saya hanya mispersepsi saja, karena kan selanjutnya ada penjelasan lebih detail soal apa saja sih, persetujuan korban itu maksudnya. Jadi saya rasa kurang tepat jika dianggap melegalkan seks bebas. Karena kan sebetulnya sudah dijelaskan pada pasal selanjutnya, bahwa persetujuan korban yang dimaksud adalah yang dianggap sah oleh hukum, ada itu poin-poinnya. Jadi 'persetujuan' tersebut bisa tidak dianggap sah jika korban tidak memenuhi syarat sebagaimana yang disebutkan dalam Permen," imbuhnya.
KOMENTAR ANDA
BERITA LAINNYA
-
Sahroni: Kasus Kematian Brigadir J Pertaruhan Psikis Keluarga dan Kredibilitas Polri
12 November 2021 10:09 -
DJP Diminta Masifkan Sosialisasi NIK Jadi NPWP
12 November 2021 10:09 -
Pemuda Penentu Kebijakan Global
12 November 2021 10:09 -
DPR Percaya Bareskrim Profesional Tangani Kasus Penembakan Polisi
12 November 2021 10:09 -
Puteri Komarudin Desak Bank Mandiri Tindaklanjut Dugaan Dokumen Agunan Nasabah Hilang
12 November 2021 10:09
BERITA POPULER
- 1
Puan: Kembalinya Blok Rokan Harus Dirasakan Rakyat
- 2
Abaikan berbagai aspek, holding migas BUMN dinilai terburu-buru
- 3
Fungsi dan kewenangan BNN jadi pembahasan Panja RUU Narkotika
- 4
Komisi IX evaluasi kinerja, Menkes diberi waktu 2x24 jam untuk usut kasus Debora
- 5
Konferensi Parlemen Dunia dihadiri 48 negara, Fahri sebut itu prestasi
- 6
Demi masyarakat sehat, Brebes dukung program GPN dari Kemenpora
- 7
Ribuan advokat siap bela Aris Budiman