Pansus RUU Terorisme: Napi teroris harus diisolasi dan diperketat
DPR RI - Pasca kerusuhan di Mako Brimob, seluruh napi terorisme dipindah ke Nusa Kambangan. Anggota Panitia Khusus atau Pansus RUU Terorisme DPR RI, Darizal Basir, mengatakan pemindahan itu percuma apabila tidak dibarengi dengan perubahan penanganan prosedur secara menyeluruh.
"Dengan penanganan yang diperketat, pemindahan napiter ke Nusa Kambangan efektif untuk jangka pendek, tetapi tidak dalam jangka panjang," ungkap politisi senayan itu.
Darizal yang juga merupakan anggota Komisi I DPR RI bidang intelijen mengatakan bahwa kerusuhan yang terjadi di Mako Brimob adalah momen penting bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dalam menangani para napiter di dalam penjara.
"Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh dari segala aspek seperti tempat dan lingkungan penahanannya, sistem pelayanan dan pembinaan, sistem pengamanan dan lain-lain, agar diatur dalam standar operasional yang tepat guna," kata Darizal.
Politisi Demokrat asal Sumbar ini kemudian membandingkan perlakuan napiter di negara lain, seperti Malaysia. "Di Malaysia mereka tidak dikumpulkan jadi satu, baik dengan sesama napiter maupun napi lainnya, tetapi diisolir,".
Di Malaysia, dalam kasus terorisme, satu sel untuk satu napi. Mereka tidak memiliki akses untuk bersosialisasi dengan napi lainnya. Dalam sehari, mereka hanya bisa menikmati udara di luar sel secara terbatas dan singkat. Tidak dapat berkomunikasi dengan napi sekitarnya dan diawasi secara ketat. Waktu kunjungan juga dibatasi dengan kontrol ketat.
Karena hanya hidup sendiri, mereka tidak mungkin bisa menyebarkan atau menularkan idelogi mereka kepada napi lainnya. Dengan sistem seperti itu, para napi secara mental akan jatuh dan saat keluar akan berpikir ulang jika kembali terlibat dalam tindakan terorisme.
"Ini berbeda dengan perlakuan napiter di Indonesia. Mereka berbaur menjadi satu dengan pengawasan yang tidak ketat. Akibatnya, mereka bisa berkomunikasi dan membangun jaringan yang lebih luas," kata Darizal.
Alih-alih sadar, lanjut Darizal, napi terorisme di Indonesia justru semakin radikal di dalam penjara. Saat di penjara, mereka bisa pura-pura insyaf dan berbuat baik. Tetapi ketika keluar, mereka telah siap untuk gerakan yang lebih besar. Yang lebih berbahaya lagi adalah mereka bisa menularkan idelogi ke napi-napi lain, merekrut dan membaiatnya menjadi anggota.
"Masuk karena mencopet, keluar malah jadi teroris", terang Darizal.
"Petugas yang berinteraksi dengan mereka di tahanan juga harus sering dirotasi. Karena interaksi yang sering bisa mempengaruhi aparat untuk bersimpati dan akhirnya mendukung ideologi mereka. Sudah banyak kasus di mana aparat penegak hukum terpengaruh dan ikut dalam organisasi mereka", kata Darizal.
Aparat yang terpengaruh ini sangat bahaya karena mereka bisa membocorkan rahasia, memberikan informasi penting dan membantu pergerakan napiter dalam penjara saat ada kasus pembangkangan atau pemberontakan. Mereka juga bisa memberikan pelatihan atau teknik dasar-dasar kemiliteran dan pengetahuan penting lainnya.
"Jadi, bukan satu blok untuk para napiter, tetapi satu sel untuk satu napi dengan pengawasan ketat dan ruang gerak yang lebih sempit", papar Darizal.
Saat disinggung soal tingginya anggaran untuk membangun sel tersebut, Darizal mengatakan "Memang mahal, tapi nyawa manusia dan keutuhan bangsa jauh lebih mahal," tegasnya.
KOMENTAR ANDA
BERITA LAINNYA
-
DJP Diminta Masifkan Sosialisasi NIK Jadi NPWP
13 Mei 2018 13:02 -
Pemuda Penentu Kebijakan Global
13 Mei 2018 13:02 -
DPR Percaya Bareskrim Profesional Tangani Kasus Penembakan Polisi
13 Mei 2018 13:02
BERITA POPULER
- 1
Puan: Kembalinya Blok Rokan Harus Dirasakan Rakyat
- 2
Abaikan berbagai aspek, holding migas BUMN dinilai terburu-buru
- 3
Fungsi dan kewenangan BNN jadi pembahasan Panja RUU Narkotika
- 4
Komisi IX evaluasi kinerja, Menkes diberi waktu 2x24 jam untuk usut kasus Debora
- 5
Konferensi Parlemen Dunia dihadiri 48 negara, Fahri sebut itu prestasi
- 6
Demi masyarakat sehat, Brebes dukung program GPN dari Kemenpora
- 7
Ribuan advokat siap bela Aris Budiman