Menaikkan Iuran BPJS Melawan Logika Sosial
DPR RI - Rencana pemerintah menaikkan iuran jaminan kesehatan telah menegasikan fungsi sosial yang mesti diemban lembaga BPJS Kesehatan. Defisit yang dialami BPJS Kesehatan tidak harus dibebankan kepada masyarakat. Negara harus mempertimbangkan kemampuan warganya. Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Korpolkam) Fadli Zon menilai, rencana menaikkan iuran melawan logika unsur jaminan sosial.
"Merujuk pada perhitungan awal pendirian BPJS, premi yang dibayarkan memang tidak akan pernah mencukupi pembiayaan. Di sinilah letak kesalahan kita meletakkan BPJS seolah perusahaan asuransi murni. Negara mestinya mendudukkan sistem jaminan sosial sebagai instrumen dari produktivitas warganya," tandas Fadli saat menjadi pembicara dalam acara bedah buku karya Said Iqbal di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (6/9).
Fadli menilai, buku berjudul 'BPJS Kesehatan Dalam Pusaran Kekuasaan' yang ditulis Said Iqbal dan Kahar S Cahyono itu merupakan filosofi perjuangan kaum buruh. Menurutnya, premis pokok dalam jaminan sosial adalah tidak ada keadilan sosial tanpa sistem jaminan sosial. konstitusi sudah mengamanatkan pemerintah untuk menjalankan pasal 28H ayat (1) yang menyatakan setiap orang berhak sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan berhak memperoleh layanan kesehatan.
"Ini kalimat imperatif bahwa siapa pun yang berkuasa di Indonesia harus menjalankan amanat konstitusi. Berangkat dari premis ini, setiap persoalan yang berkait dengan BPJS Kesehatan tak bisa langsung dilarikan ke logika rezim aktuaria kesehatan. Sebab BPJS bukanlah asuransi murni tapi sistem jaminan sosial. Karena BPJS instrumen jaminan sosial oleh negara, maka negara mestinya mempertimbangkan kemampuan warga dalam membayar iuran," papar Fadli.
Membebankan premi yang dibayarkan warga, lanjut politisi Partai Gerindra itu, bisa merusak banyak hal, mulai sistem pengupahan, kesejahteraan tenaga kerja, dan lain-lain. Masalah pokok jaminan sosial justru terletak pada rendahnya anggaran kesehatan. Dari Rp 2.200 triliun pada APBN 2018, anggaran kesehatan masih sekitar Rp 100 triliun.
Ditegaskan kembali, usulan kenaikan iuran BPJS sebagai cara untuk mengatasi defisit sesungguhnya sangat ironis. Di satu sisi pemerintah ingin menaikkan iuran, di sisi lain ada defisit, tapi BPJS telah lebih dulu mengurangi manfaat atau tanggungan berupa obat-obatan bagi pasien peserta BPJS Kesehatan.
"Ini adalah bentuk penyelenggaraan jaminan sosial yang buruk. Perlu evaluasi menyangkut kelembagaan, keorganisasian, SDM, dan sejauh mana sistem dalam BPJS itu berjalan transparan dan akuntabel," ungkapnya.
Fadli lalu mengungkap defisit yang dialami BPJS Kesehatan dari tahun ke tahun. Pada 2018 total klaim yang harus dibayar BPJS Rp 24,8 triliun, naik 13,21 persen dari Rp 21,27 triliun pada 2017. Defisit yang dialami BPJS sejak tahun pertama saja sekitar Rp 3,3 triliun di 2014. Lalu Rp 5,7 triliun di 2015, Rp 9,7 triliun di 2016, Rp 9,75 triliun di 2017, dan Rp 10,8 triliun di 2018.
KOMENTAR ANDA
BERITA LAINNYA
-
Sahroni: Kasus Kematian Brigadir J Pertaruhan Psikis Keluarga dan Kredibilitas Polri
09 September 2019 12:17 -
DJP Diminta Masifkan Sosialisasi NIK Jadi NPWP
09 September 2019 12:17 -
Pemuda Penentu Kebijakan Global
09 September 2019 12:17 -
DPR Percaya Bareskrim Profesional Tangani Kasus Penembakan Polisi
09 September 2019 12:17 -
Puteri Komarudin Desak Bank Mandiri Tindaklanjut Dugaan Dokumen Agunan Nasabah Hilang
09 September 2019 12:17
BERITA POPULER
- 1
Puan: Kembalinya Blok Rokan Harus Dirasakan Rakyat
- 2
Abaikan berbagai aspek, holding migas BUMN dinilai terburu-buru
- 3
Fungsi dan kewenangan BNN jadi pembahasan Panja RUU Narkotika
- 4
Komisi IX evaluasi kinerja, Menkes diberi waktu 2x24 jam untuk usut kasus Debora
- 5
Konferensi Parlemen Dunia dihadiri 48 negara, Fahri sebut itu prestasi
- 6
Demi masyarakat sehat, Brebes dukung program GPN dari Kemenpora
- 7
Ribuan advokat siap bela Aris Budiman