1. HOME
  2. »
  3. BERITA

Komisi XI: Biaya e-money bisa jadi blunder

Editor: Haris Kurniawan  18 September 2017 14:52
news/2017/09/18/144740/komisi-xi-biaya-e-money-bisa-jadi-blunder-170918s.jpg

DPR RI - Penerapan biaya isi ulang (top up) e-money oleh Bank Indonesia (BI) akan menjadi blunder, karena merugikan masyarakat pengguna. Penerapan ini terkait dengan rencana penggunaan uang non tunai dalam mengakses ruas tol di seluruh Indonesia. Biayanya Rp1.500 per transaksi mulai Oktober tahun ini.

“Selain bertentangan dengan semangat dan visi cashless society yang gencar disosialisasikan BI, juga karena hal tersebut memberatkan rakyat,” nilai Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan dalam rilisnya, Senin (18/9). Kebijakan ini kontra produktif di tengah semangat Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang bertujuan mewujudkan sistem pembayaran yag transparan, efisien, minim risiko, aman, dan terhidar dari aksi penipuan.

BI diharapkan, Heri, berpihak kepada masyarakat dan menghindari pungutan fee dari setiap isi ulang e-money yang memberatkan. Tahun 2017 saja tercatat transaksi uang elektronik telah mencapai 58 juta transaksi dengan nilai Rp1,1 triliun. “Kalau ada biaya top up justru bisa jadi blunder yang berujung pada distrust. Sebab, masyarakat yang mestinya mendapat insentif dari kelebihan-kelebihan e-money, justru mendapat disinsentif. Jelas, itu tidak elok,” tegas Heri.

Bila kebijakan pungutan biaya dalam e-money tidak ditarik, maka GNNT ini, sambung Anggota F-Gerindra itu, bisa dipandang sebagai alat perbankan untuk menarik dana masyarakat. Perbankan adalah institusi dengan aset yang besar. Imag itu harus tetap dijaga. “Jangan sampai rusak hanya gara-gara uang receh,” ucap Heri singkat. Sekali lagi, kebijakan ini menguntungkan perbankan dan merugikan masyarakat.

Heri mengungkapkan, empat bank tercatat pengguna kartu e-money sebanyak 27,6 juta (Bank Mandiri 9,61 juta, BNI 1,5 juta, BRI 6,6 juta, dan BCA 10 juta). Ia lalu mencontohkan, bila rata-rata transaksi per bulan ada 1 kali transaksi, maka biaya isi ulang yang berhasil diraup bank sebesar 27,6 juta x Rp1.500 = Rp 41,4 miliar per bulan. Dalam setahun bisa Rp 41,4 x 12 bulan = Rp496,8 miliar. Kalau ditambah dengan harga beli kartu Rp25.000, maka total dana masyarakat yang disimpan di bank Rp496,8 + (Rp25.000 x 27,6 juta) = Rp1,2 triliun per tahun.

“Itu bukan uang yang sedikit. Nah, uang itu dibikin apa? Bagaimana pertanggungjawabannya di bank-bank, terutama BUMN? Kan, tidak jelas. Padahal semangat e-money itu adalah transparansi sistem pembayaran,” keluh Heri. Dia juga mempertanyakan, e-money untuk kartu tol. Harga belinya Rp 50.000 tapi hanya berisi Rp 30.000. Sisanya Rp20 ribu. Dipotong administrasi, misalnya, Rp 5.000. Lalu, ke mana Rp 15.000 yang tersisa?

Menurut data BPS, ada sekitar 16 juta unit kendaraan di Jakarta. Dalam sebulan, pengguna kendaraan rata-rata harus mengisi ulang uang elektroniknya 1 kali. Dengana sumsi itu, maka uang yang berhasil dikumpulkan sebesar Rp 1.500 x 16 juta = Rp24 miliar.

Dalam satu tahun berarti Rp12 miliar x 12 bulan = Rp288 miliar. “Itu baru Jakarta, belum kota-kota lainnya. Harusnya pada konteks ini, BI bisa meminimalisir kerugian-kerugian tersebut lewat skema interkoneksi antaruang elektronik di semua pintu tol, serta interkoneksi antarbank, baik BUMN atau swasta,” papar Heri lebih lanjut.

KOMENTAR ANDA