DPR kritik kunjungan kerja presiden bawa anak menantu hingga cucu

DPR RI - Kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Turki dan Jerman yang membawa serta seluruh anggota keluarganya, mulai dari istri, anak, menantu, hingga cucu, mendapat tanggapan dan kritik dari Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon. Seperti diketahui, hari Rabu, 5 Juli 2017, Presiden Jokowi yang didampingi Ibu Negara, Iriana Joko Widodo, bertolak ke luar negeri. Jokowi dijadwalkan menghadiri KTT G20 di Hamburg, Jerman. Namun sebelum ke Jerman, Presiden akan singgah ke Turki untuk bertemu Presiden Erdogan.
"Meski tidak ada larangan tegas, membawa serta seluruh anggota keluarga dalam kunjungan resmi kenegaraan adalah tindakan yang kurang pantas. Presiden mestinya bisa menjadi teladan mengenai hal ini," ujar Fadli Zon."
"Apalagi, dalam undang-undang keprotokolan yang disebut pendamping Presiden atau Wakil Presiden hanyalah istri atau suami, bukan anak, menantu, apalagi cucu. Jadi jangan salahkan jika publik kemudian melihat kunjungan kenegaraan kali ini sebagai telah ditumpangi oleh agenda liburan keluarga Presiden," tambahnya.
Menurut Fadli, sebagai pembanding, menurut aturan keprotokolan, pimpinan DPR dalam kunjungan muhibah juga diperbolehkan membawa serta istri atau suami, atas biaya negara. Namun dalam prakteknya fasilitas itu jarang sekali digunakan. Dan fasilitas itupun khusus muhibah, karena dalam kunjungan kerja lainnya, fasilitas itu tidak diberikan.
"Memang, sesuai aturan yang berlaku anggota keluarga Presiden juga mendapatkan fasilitas protokoler tertentu. Namun, karena fasilitas itu bersifat melekat, Presiden mestinya bijaksana dan bisa memilah-milah, jangan sampai fasilitas bagi kerja kepresidenan ditumpangi oleh kepentingan pribadi keluarga Presiden, apalagi ini dilakukan secara mencolok," katanya.
"Saya kira ini preseden yang kurang pantas. Seingat saya, Presiden Soeharto yang sangat powerfull saja saat berkuasa dulu tidak pernah membawa cucunya dalam kunjungan resmi kenegaraan, kecuali untuk keperluan yang bersifat pribadi, seperti berobat dan sejenisnya," tambahnya lagi.
Menurut Fadli, karena persoalan ini telah menjadi sorotan publik, maka Menteri Sekretaris Negara dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara/Reformasi Birokrasi perlu memberi penjelasan terbuka. "Terutama terkait tata aturannya. Jangan sampai preseden semacam ini ke depannya malah jadi model bagi penyelenggara negara lainnya. Harus segera ditegaskan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, jangan sampai diabu-abukan. Ini tidak bagus bagi agenda reformasi birokrasi kita," imbuhnya.
KOMENTAR ANDA
BERITA LAINNYA
-
-
DJP Diminta Masifkan Sosialisasi NIK Jadi NPWP
06 Juli 2017 16:09 -
Pemuda Penentu Kebijakan Global
06 Juli 2017 16:09 -
DPR Percaya Bareskrim Profesional Tangani Kasus Penembakan Polisi
06 Juli 2017 16:09 -
BERITA POPULER
- 1
Puan: Kembalinya Blok Rokan Harus Dirasakan Rakyat
- 2
Abaikan berbagai aspek, holding migas BUMN dinilai terburu-buru
- 3
Fungsi dan kewenangan BNN jadi pembahasan Panja RUU Narkotika
- 4
Komisi IX evaluasi kinerja, Menkes diberi waktu 2x24 jam untuk usut kasus Debora
- 5
Konferensi Parlemen Dunia dihadiri 48 negara, Fahri sebut itu prestasi
- 6
Demi masyarakat sehat, Brebes dukung program GPN dari Kemenpora
- 7
Ribuan advokat siap bela Aris Budiman